Ia mengadah ke langit sore, lama menatap langit, tampaknya sore ini pun tak lagi membawakan senja. Dia heran, kemana senja itu hilang? Bukankah dulu senja selalu datang? Mungkin senja memang telah dipotong oleh Sukab. Sukab yang malang, bodoh, dan tidak tahu diri. Sukab yang mencintai Alina begitu besarnya, padahal Alina mencintainya pun, tidak.. Haa bodoh.
Dia melanjutkan perjalanan, berjalan di setapak yang selalu dilewati saat senja datang menemui. Dia mengingat percakapannya dengan senja yang datang dengan senyuman, sesekali Dia mendekapnya, hangat… Dan ciuman itu… Manis, tak pernah terlupakan. Dihadapannya jalan begitu muram, tak ada lampu jalan, hanya pohon yang daunnya mulai berguguran, berserakan.
Ada yang hilang dalam dirinya, sebuah bejana yang tempo hari senja bawakan, bejana yang membiru. “Minum setiap hari” begitu katanya, sambil tersenyum. Dan Ia kini kehausan.. Haus.. Bahkan ludahnya pun mengering..
Di hadapannya ada selembar kertas, dan pensil di tangan kanannya. “Kamu yakin akan mengirimkan itu?” tanya dirinya yang lain. Dia diam… “Bagaimana jika dia tidak datang lagi?” dia melanjutkan. “Aku tidak peduli” jawabnya. Dilipatkan surat itu menjadi pesawat kertas. Dia menatap langit sore dalam-dalam, Dia lemparkan pesawat itu kuat-kuat. Terbang… Pesawat itu terbang menjauh. Dia tidak tahu apa surat itu akan dibaca oleh senja atau malah ditemukan oleh pekatnya malam.. Lalu dibuang…
Dia tetap berjalan, melewati dedaunan berserakan, dahan pohon yang mengering… Dan sore yang tak lagi membawa senja..
Yang kebayang si Nadia lagi bacain postingan ini. Duh 😕😕
LikeLike
Hahaha.. Pasti karena ada Alinanya.. Cocok tuh dia bacain pas yg Sukab yg bodohhaha
LikeLike
Ya terutama yang itunya dik haha..
*brb setel jawaban alina*
LikeLike
🙂
LikeLike
🙂
LikeLike